Menurut Soerjono Soekanto, Pengertian konflik
sosial adalah suatu proses social dimana individu atau kelompok berusaha untuk
memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan
ancaman atau kekerasan Menurut teori konflik, masyarakat senantiasa berada
dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus
diantara unsure-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan
sumbangan terhdapa disintegrasi sosial. Teori konflik melihat bahwa keteraturan
yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan
atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa.
Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan
manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya
memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan
hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umunya
orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan
utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang
memungkinkan perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber
daya alam juga memiliki aspek “social space” yang menghasilkan
hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa
menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan,
permintaan pasar dan distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber daya
alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok
tertentu.
Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak
terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan
masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa
diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik
bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001).
Dalam setiap kelompok social selalu ada
benih-benih pertentangan antara individudan individu, kelompok dan kelompok,
individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk
non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak
berbentuk kekerasaan. Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaitu configure
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau
membuatnya tidak berdaya.
Dalam teori hubungan masyarakat, Fisher
menyebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, serta
tidak adanya saling percaya dalam masyarakat yang melahirkan permusuhan
diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab
konflik dalam masyarakat juga dapat disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia. Dalam teori kebutuhan manusia, Fisher mengatakan bahwa konflik yang
berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik), mental dan
social yang tidak terpenuhi atau dihargai.
Hoult (1969) sebagaiman di kutip Wiradi
(2000) menyebut konflik sebagai situasi proes interaksi antara dua (atau lebih)
orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek
yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah,
seperti air dan perairan, tanaman, tambang , dan juga udara yang berada di atas
tanah yang bersangkutan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertical,
yaitu antar pemerintah , masyarakat dan swasta, antar pemerintah pusat,
pemerintah kota dan desa, serta konflik horizontal yaitu konflik antar
masyarakat.
Menurut teori konflik, unsur-unsur yang
terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis atau sering kali
mengalami perubahan. Setiap elemen-elemen yang terdapat pada masyarakat dianggap
mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori ini keteraturan
yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan
kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan peran dan status di
dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi.
Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya
konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002).
Dahrendrof membedakan golongan yang terlibat
konflik atas tiga tipe kelompok, yaitu kelompok semu (Quasi Group) atau
sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan
dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang terbentuk
karena munculnya kelompok kepentingan . kelompok yang kedua adalah kelompok
kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas,
mempunyai struktur, organisasi program, tujuan, serta anggota yang jelas.
Kelompok kepentingan ini lah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik
(Dahrendrof, 1959).
Dari berbagai jenis kelompok kepentingan
inilah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik
kelompok aktual. Konflik yang terjadi menyebabkan perubahan –perubahan dalam
masyarakat. segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok tersebut akan
melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam struktur sosial.
Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah perubahan yang radikal,
bila konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan
struktur secara tiba-tiba (Ritzer, 2002). Secara akademis, konflik tidak harus
berarti kekerasan. Konflik juga bisa berupa kompetisi untuk perebutan sumber
daya alam yang yang ketersediaanya terbatas (Pratikono, dkk,2004). Konflik
muncul ketika individu saling berhadapan dan bertentangan denganm kepentingan,
tujuandan nilai yang di pegang oleh masing-masing individu. Demikian juga
halnya pada masyarakat Karo, mula konflik terjadi karena adanya perebutan tanah
di antara dua pihak yang masih merupakan satu bagian keluarga besar. Mereka
berkompetisi memperebutkan tanah warisan dan masing-masing mereka
mempertahankan tanah tersebut.
Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam
masyarakat dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal
dan horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara
masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik laten, sebab benih-benih
konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya. Konflik sosial
horizontal, disebabkan karena konflik antar etnis, suku, golongan, agama, atau
antar kelompok masyarakat yang dilatar belakangi oleh kecemburuan sosial yang
memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial.
Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk;
pertama, konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan
sehingga dapat ditangani secara efektif. Kedua, konflik terbuka adalah konflik
yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk
mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. Dan yang ketiga adalah,
konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul
hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan
komunikasi (Fisher,2001).
Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab suatu
konfik itu dapat terjadi. Dalam pandangan sosiologis, masyarakat itu selalu
dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan
bagi terjadinya konflik. Collins mengatakan bahwa konflik berakar pada masalah
individual karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins,
konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistik dan konflik adalah
proses sentral dalam kehidupan sosial.
Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah
karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia ,seperti aspek
sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik dapat juga terjadi karena adanya
mobilisasi social yang memupuk keinginan yang sama. Menurut perspektif
sosiologi (Soekanto, 2002), konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi
maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi,
unsure-unsur kebudayaan, pola perilaku dengan pihak lain. Konflik atau
pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha
untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan
ancaman dan/ atau kekerasan.
Tags
Psikologi Gender