Teori
disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai
perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan
perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah
demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Pernahkah
kamu merasa terbebani dengan orientasi seksualmu? Kamu bingung mengapa bisa
memiliki rasa suka kepada sesama jenis dan berusaha menyangkalnya? Tidakkah
saat itu kamu merasa sangat takut jika orang lain tahu sehingga kamu berusaha
menyembunyikan dan tidak menginginkannya? Gejala-gejala seperti ini menunjukkan
bahwa kamu sedang mengalami dilema. Dalam dunia LGBT, keadaan semacam ini
populer dengan istilah denial. Namun, ditinjau dari segi psikologis, kamu
mungkin mengalami apa yang disebut sebagai cognitive dissonance atau disonansi
kognitif.
Defenisi
Disonansi Kognitif
Apa
sih disonansi kognitif itu? Wibowo (dalam Sarwono, S.W., 2009)
mendefinisikannya sebagai keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian
antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku. Festinger
(1957), berpendapat bahwa disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang
bertolak belakang, yang diakibatkan oleh penyangkalan dari satu elemen kognitif
terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri individu.
Hubungan yang bertolak belakang tersebut, terjadi bila ada penyangkalan antara
elemen kognitif yang satu dengan yang lain, misalnya antara sikap positif A
terhadap B (A mencintai suaminya B) dan sikap A terhadap perilaku B
(berselingkuh).
Seorang
lesbian, misalnya, dapat mengalami disonansi ketika menyadari orientasi
seksualnya karena dia tahu agama dan norma sosial menganggap orientasinya
sebagai penyimpangan. Akibatnya, lesbian tersebut berusaha menyangkal
orientasinya untuk tetap berpegang pada norma agama dan norma sosial, atau
justru menyangkal norma tersebut untuk dan berusaha merasa nyaman dengan
orientasi seksualnya.
Namun,
perlu diingat, bahwa istilah disonansi tidak hanya digunakan untuk hal-hal yang
berhubungan dengan orientasi seksual. Ketika seseorang bingung karena sangat
ingin pergi ke luar kota bersama teman tetapi juga tidak ingin melanggar
larangan orang tua, dia juga bisa disebut mengalami disonansi kognitif.
Larangan yang harus dipatuhi berbenturan dan membentuk penyangkalan pada
keinginannya untuk pergi.
Disonansi
kognitif tidak hanya bisa timbul dari diri seseorang saja, tetapi juga dapat
timbul akibat pengaruh faktor eksternal di luar dirinya. Seorang lesbian yang
sudah merasa keluar dari masa denial dan bisa menerima orientasi seksualnya,
misalnya, masih dapat mengalami disonansi kognitif akibat sikap atau perkataan
orang lain. Dalam sebuah penelitian, seorang lesbian mengaku, ”The tension I
experience comes from trying to answer ordained clergy’s questions about ‘ a
sin of being openly avowing as a lesbian Christian” (Mahaffy, 1996).
Bila
terjadi disonansi, ada sesuatu yang harus dilepas, atau ada ketidaksesuaian
antara suatu keyakinan dengan keyakinan-keyakinan atau sikap yang penting.
Bersikeras mempertahankan kedua-duanya, akan terasa sangat menyiksa.
Asumsi-Asumsi
Teoritis
Asumsi
dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar
diantaranya adalah:
- Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.
- Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif.
- Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.
- Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.
Menurut
Leon Festinger, Perasaan yang tidak seimbang sebagai disonansi kognitif; hal
ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka
sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui,
atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka
pegang”(1957, hal 4).
Konsep
ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa
disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk
mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu.
Teori
disonansi kognitif beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan hubungan
yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua eleman itu
sendiri pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat
bahwa disonansi, secara psikologis tidak nyaman , maka akan memotifasi
seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmonis atau
keselarasan. Orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi
yang sekiranya akan memunculkan disonansi dalam berkomunikasi.
Dalam
teori disonansi kognitif ada tiga elemen yang menjadi sorotan, yaitu :
- Tidak relevan satu sama lain.
- Konsisten satu sama lain (harmoni).
- Tidak konsisten satu sama lain (disonansi).
Roger
brown (1965) mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang
cukup sederhana ”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam
ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk
mencapai konsonansi”. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi
adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua
elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja
konsonan (consonant), disonansi (dissoanant), atau tidak relevan (irrelevan).
Hubungan
konsonan (consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen
tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. Jika anda yakin, misalnya, jika
bahwa kesehatan dan kebugaran adalah tujuan yang penting dan anda berolahraga
sebanyak tiga sampai lima kali dalam seminggu, maka keyakinan anda mengenai
kesehatan dan perilaku anda sendiri akan memiliki hubungan yang konsonan antara
satu sama lain. Atau pada kasus kaum lesbian. Jika perilaku lesbian dan norma
agama atau sosial tidak ada pertentangan, berarti lesbian dengan norma agama
dan sosial merupakan hubungan yang konsonan.
Hubungan
disonansi (dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak
seimbang satu dengan lainnya. Contoh dari hubungan disonan antarelemen adalah
seorang penganut agama yang mendukung hak perempuan untuk memilih melakukan
aborsi. Dalam kasus ini, keyakinan keagamaan orang itu berkonflik dengan
keyakinan politiknya mengenai aborsi. Atau kasus kaum lesbian, mengenai
perilakunya yang lesbi dengan konflik dengan norma agama atau sosial yang
bertentangan, membuat hubungan ini disonan.
Hubungan
tidak relevan (irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen
tidakmengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain. Pentingnya disonansi
kognitif bagi peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa
ketidaknyaman yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya
perubahan.
Konsep
dan Proses Disonansi Kognitif
Ketika
teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak
ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya
konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk
kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat
disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang
mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi. Teori CDT membedakan antara
situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan
lebih sedikit disonansi.
Tingkat
Disonansi
Merujuk
kepada jumlah inkonsistensi yang dialami seseorang, ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang(Zimbardo,
ebbsen&Maslach, 1977):
- Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan.
- Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan.
- Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyaka alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan.
Disonansi
Kognitif dan Persepsi
Teori
CDT berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan
perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective
interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention), karena teori ini
memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi.
Proses perseptual ini merupakan dasar dari penghindaran ini.
Terpaan
Selektif (Selective Exposure)
Mencari
informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi.
CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan
disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka.
Pemilihan
Perhatian (Selective Attention)
Merujuk
pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang
memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan
keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.
Interpretasi
Selektif (Selective Interpretation)
Melibatkan
penginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan
menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap
teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya
terjadi(Bescheid&Walster,1978).
Retensi
Selektif (Selective Retention)
Merujuk
pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya
yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang
konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan
terhadap informasi yang tidak konsisten.
Cara
Mengatasi Disonansi Kognitif
Ada
banyak cara untuk mengatasi disonansi kognitif, namun cara yang paling efektif
untuk ditempuh adalah:
- Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita.
- Menambahkan keyakinan yang konsonan.
- Menghapus disonansi dengan cara tertentu.
Aronson
dan Festinger (1968; 1957; dalam Sarwono, S.W., 2009) mengemukakan tiga
mekanisme yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi kognitif, yaitu:
- Mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain. Seorang lesbian yang tinggal di lingkungan yang sangat keras menentang homoseksualitas, misalnya, dapat mengaplikasikan mekanisme ini dengan dua cara, yaitu: (1) mengubah orientasi seksualnya atau setidaknya berpura-pura menjadi heteroseksual; atau (2) pindah ke lingkungan lain yang lebih bisa menerima diri dan orientasinya.
- Mekanisme yang kedua adalah mencari informasi baru yang mendukung sikap atau perilaku untuk menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan. Misalnyanya seorang lesbian mencari informasi tentang perilakunya yang menyimpang di lihat dari sudut sosial, mencari pembenaran dengan hal yang serupa. Misalnya, sebut aja disini artikel SepociKopi, membaca artikel ini, mungkin kamu tanpa sadar sedang menjalankan mekanisme tersebut. Atau cari info lain yang juga bisa menemukan beberapa artikel argumentatif yang mengemukakan bahwa homoseksualitas sebenarnya tidak bertentangan dengan agama tertentu. Berusaha mencari artikel sejenis untuk menenangkan diri atau dijadikan dasar argumen ketika berdiskusi dengan orang lain juga merupakan aplikasi dari mekanisme di atas.
- Mekanisme yang terakhir adalah trivialization yang berarti mengabaikan atau menganggap ketidaksesuaian antara sikap atau perilaku penyebab disonansi sebagai hal yang biasa. Kamu menjalankan mekanisme ini ketika kamu berusaha tidak peduli, dan tetap berusaha menjalani hari-hari sesuai dengan norma yang ada, meskipun tetap menjalankan kehidupan sebagai lesbian misalnya.
Kritik
Terhadap Teori Disonansi
- Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk mengurangi disonansi.
- Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan pengujian berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau salah.
Referensi:
Severin,
Werner J., Teori Komunikasi “Sejarah, Metode Dan Terapan Dalam Media Massa”,
terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta : Kencana, 2005.
Sarwono,
Sarlito. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Himanika
mantap.... thanks artikelnya bagus
BalasHapus