DEFENISI PSIKOLOGI FORENSIK
Secara umum psikologi forensik dibangun oleh dua displin ilmu yang beririsan yakni psikologi dan hukum yang melahirkan psikologi forensik. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika Serikat, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik?
Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang dewasa. Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah, universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum.
Sundberg et,al (2007) memberikan defenisi psikologi ferensik sebagai kajian ilmiah psikologi termasuk isu – isu klinis yang diaplikasikan pada beberapa bagian sistem hukum atau sistem peradilan.
Committee on ethical guidelines for forensic psychologists (1991), psikologi adalah semua pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat proses hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional dan forensik, dan badan badan adminitratif, judikatif dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas judisial. Layanana psikologi forensik pada Psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR).
SEJARAH PSIKOLOGI FORENSIK
Pada tahun 1901, William Stern melaporkan bahwa dia sedang meneliti ketepatan ingatan orang --- suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Freud mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan pada hukum. Kemudian John Watson juga mengemukakan bahwa psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan.
Pada tahun 1908, Hugo von Munsterberg menerbitkan bukunya tentang the Witness Stand. Dia mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang lebih resisten daripada insan hukum terhadap gagasan bahwa psikolog dapat berperan dalam pengadilan. Dia menuduh bahwa pengacara, hakim, dan bahkan juga anggota juri tampaknya berpendapat bahwa yang mereka butuhkan agar dapat berfungsi dengan baik hanyalah common sense.
Prof. John Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di Northwestern University, memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai arogansi. Untuk menanggapi dakwaan tersebut, Wigmore menulis sebuah fiksi karikatur yang menggambarkan pengadilan terhadap Munsterberg. Munsterberg dituntut karena telah menyebarkan fitnah, dituduh telah membesar-besarkan peranan yang dapat ditawarkan oleh seorang psikolog, mengabaikan pertentangan pendapat yang terjadi di kalangan para psikolog sendiri, dan tidak dapat memahami perbedaan antara hasil laboratorium dan realita persyaratan hukum. Tentu saja “pengadilan” itu menempatkan Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus membayar denda.
Serangan Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan sehingga baru 25 tahun kemudian psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan sebagai seorang saksi ahli. Akan tetapi, tidak lama menjelang kematiannya sekitar 30 tahun kemudian, Wigmore memperlunak kritiknya. Dia menyatakan bahwa pengadilan seyogyanya siap menggunakan setiap cara yang oleh para psikolog sendiri disepakati sebagai cara yang sehat, akurat, dan praktis.
Namun demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap hukum hingga tahun 1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhirnya memberi perhatian pada ilmu-ilmu sosial dalam kasus dissegregasi Brown v. Board of Education. Kemudian, pada tahun 1962 Hakim Bazelon, yang menulis tentang the U.S. Court of Appeals untuk the District of Columhia Circuit, untuk pertama kalinya menyatakan bahwa psikolog yang berkualifikasi dapat memberikan kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam bidang gangguan mental.
Kini, psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di samping itu, mereka juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum. Kini psikologi forensik telah tiba pada suatu titik di mana terdapat spesialis dalam bidang penelitian psikolegal, program pelatihan interdisiplin sudah menjadi sesuatu yang lazim, dan berbagai buku dan jurnal dalam bidang keahlian ini sudah banyak diterbitkan.
SIAPA-SIAPA SAJA YANG MENGKAJI PSIKOLOGI FORENSIK?
Dilihat dari tugas dan tangungjawabnya, individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibedakan menjadi :
1. Ilmuwan psikologi forensik. Tugasnya melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum.
Pada dasarnya hampir semua penelitian dalam bidang psikologi itu relevan dengan beberapa isu forensik. misalnya, penelitian tentang komponen genetik schizophrenia mungkin sangat penting dalam sidang pengadilan tentang kompetensi mental. Hakikat sikap prejudice atau elemen-elemen dasar proses persuasi juga penting bagi pengacara. Penelitian konsumen mungkin mempunyai aplikasi langsung pada kasus tuntutan pertanggungjawaban produk. Dan akhir-akhir ini, penelitian tentang atribusi dan hubungan interpersonal telah diaplikasikan pada undang-undang tentang penggeledahan dan perampasan. Akan tetapi, beberapa bidang penelitian telah menjadi sangat dikaitkan dengan psikologi forensik, dan dalam bagian ini akan dibahas dua bidang, yaitu kesaksian saksi mata dan perilaku juri.
Kesaksian Saksi Mata. Kesaksian saksi mata sering tidak dapat diandalkan dan tidak akurat, sehingga sering kali orang yang tidak bersalah dinyatakan bersalah atau sebaliknya. Penelitian menunjukkan bahwa ingatan saksi mata dapat terdistorsi dengan mudah oleh informasi yang diperolehnya kemudian.
Di samping itu, orang sering kali menarik inferensi berdasarkan ekspektasinya sendiri. Juga, seorang saksi mata kecelakaan atau kejahatan hampir selalu ditanyai sebelum sidang pengadilan. Dalam tanya/jawab itu, mungkin ada suatu ucapan yang dapat mendistorsi ingatan saksi terhadap kejadian sesungguhnya. Peranan psikolog forensik adalah membantu mengidentifikasi kondisi dalam suatu kasus tertentu yang dapat menghasilkan distorsi dalam kesaksian.
Pengalaman menunjukkan bahwa para saksi mata sering kali tidak dapat sepakat di antara mereka sendiri. Mereka berbeda dalam deskripsinya tentang tinggi, berat, warna rambut, pakaian, dan bahkan juga ras. Menanggapi keprihatinan tentang kesalahan identifikasi saksi mata ini, the American Psychology-Law Society (Divisi 41 dari the American Psychological Association) telah membentuk sebuah subkomite untuk mengkaji evidensi ilmiah dalam bidang ini dan merumuskan rekomendasi.
Secara ringkas, subkomite tersebut merumuskan rekomendasi berikut:
- Orang yang melaksanakan penjejeran (lineup) atau penayangan foto (photo-spread) dalam sebuah kasus seyogyanya tidak mengetahui identitas orang yang dicurigai.
- Saksi mata seyogyanya diberi tahu bahwa seseorang yang dicurigai dalam kasus tersebut mungkin ada atau mungkin juga tidak ada di dalam lineup atau photo-spread dan bahwa orang yang melakukan lineup atau photo-spread itu tidak tahu yang mana orangnya (kalau ada) yang dicurigai dalam kasus itu.
- Orang yang dicurigai di dalam lineup atau photo-spread seyogyanya tidak tampil beda (dalam penampilannya atau pakaiannya) dari orang-orang lain.
- Keyakinan saksi mata tentang identifikasinya seyogyanya diakses pada saat identifikasi dilakukan dan sebelum mendapat suatu feedback.
Dengan demikian, diharapkan bahwa kesalahan identifikasi oleh saksi mata akan diminimalkan.
Perilaku Juri. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana anggota juri memahami bukti dan memproses informasi, bagaimana mereka merespon instruksi dari meja pengadilan, dan bagaimana mereka bereaksi terhadap jenis argumen tertentu. Anggota juri sering bingung dengan instruksi dari hakim. Satu penelitian menunjukkan bahwa bila pola instruksi yang diberikan kepada juri itu disederhanakan, misalnya dengan menggunakan kalimat aktif, pesannya pendek dan singkat, istilah-istilah hukum yang abstrak lebih dijelaskan, maka mereka mampu menerapkan hukum secara lebih akurat.
Bahkan kondisi yang sangat sederhana seperti urutan instruksi yang diberikan oleh hakim dapat berdampak pada juri. Misalnya, satu penelitian menemukan bahwa pemberian informasi kepada juri tentang persyaratan bukti sebelum menyajikan bukti, bukannya sesudahnya, akan berbeda dampaknya. Anggota juri dengan kondisi yang disebutkan terdahulu cenderung akan lebih berpegang pada diktum praduga tak bersalah daripada mereka yang dihadapkan pada kondisi yang disebutkan kemudian.
Terdapat juga banyak kondisi yang dapat membuat bias keputusan juri. Misalnya, seorang individu mungkin dihadapkan pada beberapa dakwaan kejahatan. Kadang-kadang kejahatan-kejahatan ini digabungkan menjadi satu dakwaan; dan dalam kasus lain, terdakwa mungkin akan disidangkan secara terpisah untuk masing-masing kejahatan itu. Penelitian menunjukkan bahwa bila beberapa kejahatan itu digabungkan menjadi satu dakwaan, maka juri cenderung mengusulkan vonis yang lebih berat.
2. Praktisi psikolog forensik. Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan permasalahan hukum.
Berikut akan dipaparkan praktisi psikolog forensik, karena asosiasi psikologi forensik akan lebih banyak bergerak di praktisi, walau tidak melupakan pengembangan keilmuannya.
Psikolog forensik adalah psikolog yang mengaplikasikan ilmunya untuk membantu penyelesaian masalah hukum. Di Indonesia, profesi psikolog forensik masih kurang dikenal, baik di kalangan psikolog maupun di kalangan aparat hukum.
Tugas psikolog forensik pada proses peradilan pidana adalah membantu pada saat pemeriksaan di kepolisian, di kejaksaan, di pengadilan maupun ketika terpidana berada di lembaga pemasyarakatan. Gerak psikolog dalam peradilan terbatas dibanding dengan ahli hukum. Psikolog dapat masuk dalam peradilan sebagai saksi ahli (UU RI nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP). Oleh karena itu diperlukan promosi kepada bidang hukum akan pentingnya psikologi dalam permasalahan hukum, sehingga dalam kasus-kasus pidana, ahli hukum mengundang psikologi. Tanpa undangan aparat hukum, maka psikologi akan tetap berada di luar sistem dan kebanyakan menjadi ilmuwan, dan bukan sebagai praktisi psikolog forensik.
Inti kompetensi psikolog adalah asesmen, intervensi, dan prevensi. Yang membedakan psikolog forensik dengan psikolog lainnya adalah konteks tempat ia bekerja. Psikolog forensik menerapkan kompetensi asesmen, intervensi, dan prevensinya dalam konteks permasalahan hukum.
Berikut akan dipaparkan beberapa tugas psikolog forensik di setiap tahap proses peradilan pidana.
Kepolisian
Pada pelaku. Interogasi bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang digunakan polisi adalah dengan melakukan kekerasan fisik, teknik ini banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat digunakan misalnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi (Kassin & McNall dalam Constanzo, 2006). Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi.
Criminal profiling dapat disusun dengan bantuan teori psikologi. Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Misal pada kasus teroris dapat disusun criminal profile dari teroris, yang berguna dalam langkah penyidikan di kepolisian maupun masukan bagi hakim (misalnya apakah tepat teroris dihukum mati atau hanya seumur hidup).
Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku.
Pada Korban. Beberapa kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, misal pada anak-anak atau wanita korban kekerasan dibutuhkan keterampilan agar korban merasa nyaman dan terbuka. Penggalian korban perkosaan pada anak yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu boneka (Probowati, 2005).
Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.
Pada saksi. Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. Diperlukan teknik investigasi saksi yang tepat antara lain teknik hipnosis dan wawancara kognitif.
Teknik hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti atau pada Saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali.
Wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.
Pengadilan
Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi ahli, bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anakseperti perkosaan,dan penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (misal Mental retarded, pedophilia, dan psikopat).
Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukuman yang berat.
Lembaga Pemasyarakatan
Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas. Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas lapas. Misal pada kasus percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensik dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.
Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum. Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan. Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di kegiatan forensik menjalankan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing. Hal ini berdampak pada penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja psikolog forensik yang beragam. Untuk itulah dibutuhkan suatu asosiasi yang menjadi perekat bagi psikolog yang berminat pada psikologi forensik. HIMPSI sudah membuat asosiasi itu yaitu APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia)
PERANAN PSIKOLOGI FORENSIK
Peranan psikologi forensik adalah sebagai:
- Ahli judisial yang menelaah variabel variabel yang berperan dalam tindak kejahatan
- Evaluasi mental korban kecelakaan kerja
- Edukasi kepada penuntut dan pembela hukum tentang aspek aspek psikologis penganiayaan seksual pada anak
- Dll
Fungsi utama dalam setting hukum adalah membantu para administrator, hakim, anggota juri dan pengacara dalam mengambil keputusan hukum yang lebih didasari informasi yang cukup.
Masalah – masalah yang dieksplorasi:
- Kajian psikologis tentang kriminal (psichology of criminal conduct, psychology of criminal behavior, criminal psychology)
- Forensic clinical psychology and correctional psychologicy -> konsentrasi pada assesment dan penanganan / rehabilitasi perilaku yang tidak diinginkan secara sosial
- Police psychology, investigative psychology, behavioral science -> mempelajari metode – metode yang digunakan lembaga kepolisian
- Psychology and law -> fokus pada proses persidangan hukum, sikap serta keyakinan keyakinan para partisipan
Cakupan area bidang kerja psikologi forensik adalah:
- Assesmen kompetensi mental
- Assesmen keadaan mental pada saat kejadian
- Evaluasi hak asuh anak
- Asesmen terhadap cedera atau disabilitas mental
Psikologi Forensik preventif:
- Rekomendasi penetapan hukuman
- kekerasan di sekolah
- kekerasan di tempat kerja
- penganiayaan seksual anak
- Terorisme
- tindak kejahatan
BEBERAPA KEGIATAN UTAMA PSIKOLOGI FORENSIK
1. Saksi Ahli
Perbedaan utama antara saksi biasa dan saksi ahli adalah bahwa saksi biasa hanya memberi kesaksian tentang peristiwa yang disaksikannya, sedangkan saksi ahli memberikan pendapat dan inferensi. Saksi ahli tidak hanya menyampaikan kesimpulan, tetapi harus membantu pengadilan memahami dan mengevaluasi bukti atau menentukan fakta yang dipersoalkan.
Kualifikasi. Secara umum, kualifikasi seorang psikolog klinis sebagai saksi ahli mencakup:
- Pendidikan, training formal, dan studi lanjutnya
- Pengalaman yang relevan, termasuk jabatan yang dipegangnya
- Penelitian dan publikasi yang pernah dilakukannya
- Pengetahuan dan aplikasi prinsip-prinsip keilmuan
- Penggunaan tes dan pengukuran khusus.
Akan tetapi, status saksi ahli pada akhirnya ditetapkan dengan keputusan hakim. Apakah suatu kesaksian dapat diterima sebagai kesaksian ahli juga diputuskan oleh hakim.
Berikut ini adalah pedoman untuk psikolog klinis dalam memberikan kesaksian ahli:
- Mengunakan instrumen pengumpul data yang memadai secara teori dan psikometri.
- Menarik kesimpulan mengunakan teori yang tervalidasi secara keilmuan.
- Menimbang dan mengkualifikasi kesaksian atas dasar teori yang memadai dan penelitian empirik tentang masalah yang sedang dipersoalkan.
- Mampu mempertahankan status keilmuan dari metode pengumpulan data yang dipergunakan.
Topik-topik untuk Kesaksian Ahli. Topik-topik untuk kesaksian ahli seorang psikolog forensik mencakup antara lain sbb.:
- Penahanan di rumah sakit jiwa
- Masalah hak asuh atas anak (CHILD CUSTODY)
- Penderitaan psikologis akibat kelalaian orang lain
- Pembebasan dari kurungan paksa
- Penentuan tentang perlunya seorang konservator akibat inkapasitas
- Memprediksi keberbahayaan
- Hak penyandang kecacatan mental di institusi
- Kompetensi untuk diadili
- Tanggung jawab kriminal (insanity defense)
- Penentuan kecacatan untuk klaim Social Security
- Klaim kompensasi pekerja
- Kondisi yang mempengaruhi ketepatan kesaksian saksi mata
- Advis kepada pengacara tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anggota juri
- Sejauh mana iklan dapat diklaim menyesatkan
- Sindrom perempuan teraniaya
- Sindrom trauma perkosaan
- Ketepatan identifikasi saksi mata
- Pelecehan sexual
- Psikologi polisi
- Seleksi juri
- Program treatment untuk penyerang
- Membuat profil kriminal
Saksi ahli tidak diperbolehkan mengemukakan pendapat yang berupa kesimpulan akhir, yang merupakan hak prerogatif hukum dari juri. Misalnya, saksi ahli diperbolehkan memberikan pendapat tentang keadaan mental terdakwa dan kemungkinan pengaruhnya pada perilaku dan kognisi, tetapi dia tidak diperbolehkan memberikan kesimpulan tentang apakah terdakwa itu waras atau tidak waras.
2. Kasus Kriminal
Dalih Ketidakwarasan (Insanity Plea). Jika terdakwa dinyatakan waras pada saat melakukan kejahatannya, maka dia akan diganjar dengan kurungan, denda atau masa percobaan (probation). Tetapi jika terdakwa dinyatakan tidak waras pada saat melakukan kejahatan, dia akan dipandang sebagai tidak bertanggung jawab atas perbuatanya itu, dan akan ditahan untuk mendapat treatment, bukan hukuman. Akan tetapi, dalih ketidakwarasan ini sering tidak berhasil.
Perlu dicatat bahwa “insanity” (ketidakwarasan) adalah istilah hukum, bukan istilah kedokteran, psikiatri ataupun psikologi. Sistem hukum berasumsi bahwa orang membuat pilihan-pilihan yang rasional dan dipikirkan sebelumnya. Oleh karena itu, berperilaku irrasional merupakan bukti ketidakwarasan. Tetapi psikolog pada umumnya tidak akan sepakat bahwa semua perilaku normal itu dipilih secara rasional.
Terdapat tiga standar untuk menetapkan apakah seorang terdakwa waras atau tidak.
Standar tertua adalah the M'Naghten rule, diundangkan di England pada tahun 1843. Peraturan ini menyatakan bahwa suatu pembelaan insanitas dapat diterima jika dapat dibuktikan bahwa orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum itu "melakukannya dalam keadaan terganggu nalarnya, akibat penyakit jiwa, seperti tidak mengetahui hakikat dan kualitas perbuatan yang dilakukannya; atau, kalaupun dia mengetahuinya, dia tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya itu salah."
Standar yang kedua adalah the Durham standard. Standar ini dikembangkan oleh Hakim David Brazelton dari U.S. Court of Appeals karena memandang bahwa the M'Naghten rule itu sudah kuno dan perlu direvisi. Standar Durham menyatakan bahwa "seorang terdakwa tidak bertanggung jawab atas kejahatannya kalau perbuatannya yang melanggar hukum itu merupakan akibat dari penyakit mental atau ganguan mental." Akan tetapi, hakim dan pengacara tidak puas dengan standar ini karena menurut pandangan mereka, kesaksian ahli dari profesi kesehatan terlalu banyak memperngaruhi keputusan.
Standar ketiga disebut ALI standard dari the American Law Institute. Standar ini menyatakan bahwa terdakwa tidak bertanggung jawab untuk suatu perbuatan kriminal kalau merupakan akibat dari penyakit atau gangguan mental yang sedemikian rupa sehingga sangat berkurang kapasitasnya untuk memahami kriminalitas perbuatan tersebut atau untuk mematuhi hukum. Standar ALI dipandang sebagai yang paling liberal karena perbuatan kriminal dapat dimaafkan kalau penyakit mental mengakibatkan sangat berkurangnya kapasitas untuk memahami apa yang sedang dilakukan (cognitive deficit) atau tidak mampu mengontrol perilaku (volitional deficit).
Kasus Hinckley (percobaan pembunuhan terhadap President Reagan) mengubah skenario peradilan di Amerika Serikat. Vonis tidak bersalah dengan alasan insanitas (not guilty by reason of insanity) membuat marah banyak orang, dan runtuhnya kasus ini sekali lagi mengubah standar hukum untuk insanitas. Dampak pertamanya adalah mendorong diberlakukannya kembali M'Naghten rule di mana faktor kognitif jauh lebih penting daripada faktor volitional. Dampaknya yang kedua adalah bahwa orang yang melakukan kejahatan dalam keadaan tidak waras secara otomatis harus dikurung untuk waktu yang tak terbatas. Ketiga, vonis "bersalah tetapi sakit mental " diperkenalkan dalam peraturan tentang terdakwa di beberapa negara bagian maupun pemerintah federal.
Akhirnya, semakin banyak negara bagian mulai membebankan pembuktian insanitas terdakwa kepada pembela, bukannya menuntut pihak kejaksaan untuk membuktikan kewarasan terdakwa. Jika divonis bersalah tetapi sakit mental, terhukum dikirim ke fasilitas psikiatri untuk treatment. kalau akhirnya dinyatakan waras, terhukum dikirim ke penjara untuk menghabiskan sisa masa kurungannya.
Untuk melakukan evaluasi tentang insanitas kriminal, psikolog harus memastikan apakah orang itu mengalami gangguan atau kelainan mental dan bagaimana status mental orang tersebut pada saat melakukan kejahatan. Dalam prosesnya, psikolog akan mengases banyak faktor, termasuk riwayat hidup terdakwa beserta keluarganya, status intelektualnya, faktor neuropsikologis, kompetensi untuk menghadapi pengadilan, keterampilan membaca, kepribadian, dan mengukur apakah orang itu menipu atau berpura-pura.
Kompetensi untuk Menghadapi Pengadilan. Ini adalah soal keadaan mental terdakwa pada saat menghadapi pengadilan, bukan ketika kejahatan itu dilakukan. Seseorang dikatakan mempunyai kompetensi untuk menghadapi pengadilan apabila dia memiliki kemampuan yang memadai untuk berkonsultasi dengan pengacaranya dengan tingkat pemahaman yang wajar, dan memiliki pemahaman rasional dan faktual tentang proses pengadilan yang sedang dijalaninya.
Untuk menjawab pertanyaan tentang kompetensi itu terdapat tiga hal mendasar yang pada umumnya dipertimbangkan:
- Dapatkah orang itu memahami hakikat dakwaan, dan dapatkah dia melaporkan secara faktual tentang perbuatannya pada waktu terjadinya kejahatan itu?
- Dapatkah orang itu bekerjasama dengan dewan secara wajar?
- Dapatkah orang itu memahami jalanya pengadilan?
3. Kasus-kasus Perdata
Seorang psikolog forensik dapat dilibatkan dalam sejumlah besar kasus perdata, dari perkara merek dagang hingga class action. Dua bidang yang terutama penting bagi psikolog forensik adalah (a) penahanan di dan pembebasan dari rumah sakit jiwa dan (b) masalah-masalah domestik seperti perselisihan tentang hak asuh atas anak.
Penahanan di Rumah Sakit Jiwa. Penahanan di rumah sakit yang dilakukan bertentangan dengan keinginan individu disebut involuntary commitment. Beberapa ahli berpendapat bahwa involuntary commitment merupakan tindakan yang berbahaya dan sering disalahgunakan untuk mengontrol mereka yang tidak mau tunduk pada kehendak masyarakat. Lamanya involuntary commitment yang diizinkan oleh hukum bervariasi dari 1 hari hingga 3 minggu atau lebih, tergantung pada jurisdiksi yang berlaku. Sesudah itu, hearing harus dilakukan untuk memutuskan apakah penahanan itu dapat dilanjutkan.
Pengadilan dapat memutuskan untuk menahan seseorang apabila memenuhi kriteria berikut:
- Orang itu berbahaya untuk dirinya atau orang lain
- Orang itu mengalami gangguan atau kelainan sedemikian rupa sehingga tidak mampu membuat keputusan yang bertanggung jawab, atau
- Orang itu membutuhkan treatment atau perawatan di rumah sakit. Untuk itu, orang tersebut harus dipastikan sakit mental.
Setiap orang dapat mengajukan petisi kepada pengadilan agar terdakwa diperiksa untuk mendapatkan hak ditahan di rumah sakit jiwa. Biasanya keluarga atau teman, atau kadang-kadang polisi atau petugas sosial yang bertindak sebagai pembuat petisi. Jika pengadilan setuju, maka dikeluarkanlah perintah agar orang tersebut diperiksa oleh profesional. Yang umumnya diobservasi oleh profesional adalah penampilannya secara umum, kejelasan berpikir, adanya delusi atau halusinasi, seberapa baik sang pasien memahami dakwaan, penggunaan narkoba atau alkohol, status pekerjaan, intelegensi, riwayat keadaan mental dan masalah kriminal yang pernah dialaminya, dan faktor keluarga.
Masalah Domestik. Beberapa contoh masalah domestik yang memerlukan intervensi pengadilan adalah hak asuh atas anak (child custody), kelayakan untuk menjadi orang tua (parental fitness), hak berkunjung, pelecehan anak, kenakalan remaja, dan adopsi. Sebagai contoh, di sini akan dibahas masalah hak asuh atas anak.
Salah satu dampak perceraian yang paling serius adalah pertikaian tentang siapa yang lebih berhak membesarkan anak. Kini, doktrin “demi kepentingan anak” selalu menjadi dasar pengambilan keputusan dalam pertikaian tentang hak asuh atas anak tersebut. The Michigan Child Custody Act tahun 1970 menetapkan faktor-faktor berikut yang sering digunakan sebagai pedoman oleh pengadilan dalam membuat keputusan tentang hak asuh atas anak:
- Cinta, kasih sayang, dan hubungan emosional lainnya yang ada antara pihak-pihak yang bertikai dan anak.
- Kapasitas dan disposisi pihak-pihak yang bertikai untuk memberi anak rasa cinta, kasih sayang, dan bimbingan, kelanjutan mendidik dan membesarkan anak dalam agama atau kepercayaan yang dianutnya, kalau ada.
- Kapasitas dan disposisi pihak-pihak yang bertikai untuk memberi anak makanan, pakaian, perawatan medis, atau bentuk-bentuk remedial lain yang diakui dan diizinkan oleh undang-undang Negara bagian ini sebagai pengganti perawatan medis atau kebutuhan materi lainnya.
- Lamanya anak telah tinggal dalam lingkungan yang stabil dan memuaskan, dan keinginan untuk mempertahankan keberlanjutannya.
- Kepermanenan rumah asuh yang ada atau yang diusulkan sebagai satu unit keluarga.
- Kesehatan moral pihak-pihak yang bertikai.
- Catatan tentang rumah, sekolah dan komunitas anak.
- Kesehatan mental dan fisik pihak-pihak yang bertikai.
- Pilihan yang lebih disukai anak, jika pengadilan memandang bahwa anak sudah cukup matang untuk menyatakan kesukaannya.
- Faktor-faktor lain yang dipandang relevan oleh pengadilan.
Di Amerika Serikat, 150 tahun yang lalu, anak dari keluarga yang bercerai otomatis diserahkan hak asuhnya kepada ayah, 50 tahun yang lalu hamper selalu diserahkan kepada ibu, tetapi dewasa ini kecenderungannya adalah hak asuh bersama (joint custody). Apabila pengadilan memutuskan untuk memberikan hak asuh kepada satu pihak, maka pihak lainnya diberi hak kunjung (visitation right).
Dalam melakukan evaluasi tentang hak asuh, psikolog harus mempertimbangkan informasi dari berbagai sumber agar dapat menyimpulkan tiga hal berikut:
- Kebutuhan perkembangan dan psikologis anak;
- Kekuatan dan keterbatasan masing-masing orang tua (ayah atau ibu); dan
- Bagaimana para anggota keluarga itu berinteraksi. Tujuan akhirnya adalah untuk mengidentifikasi situasi di mana kepentingan anak terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
4. Hak-hak Pasien
Sejak awal tahun 1970-an, pengadilan telah menetapkan bahwa pasien yang dirumahsakitkan secara paksa mempunyai hak konstitusional untuk mendapatkan treatment yang dapat membuatnya sembuh atau sekurang-kurangnya membaik. Di samping itu, pasien juga berhak atas standar tertentu yang mencakup lingkungan fisik (ruang duduk, kamar kecil, kamar makan, dll.), pakaian pribadi, dan kegiatan pribadi (kesempatan untuk melakukan gerak badan, kegiatan di tempat terbuka, atau kegiatan sosial). Selanjutnya, kerja paksa dilarang, dan bila pasien bekerja secara sukarela, mereka harus mendapat upah yang wajar. Meskipun banyak negara bagian mengakui hak pasien untuk berkomunikasi dan mendapat kunjungan, personel institusi sering kali menetapkan kebijaksanaan untuk mengontrol kunjungan kecuali dari pengacara, dokter, atau pendeta. Statuta juga mengatur tentang hak pasien atas martabat dan privasi. Akan tetapi, dalam prakteknya hak-hak ini cenderung tergantung pada interpretasi dan kebijaksanaan. Satu masalah yang kontroversial dan kompleks adalah hak untuk menolak treatment atau pengobatan. Tidak setiap pasien yang dirumahsakitkan secara paksa adalah mentally incompetent, dan orang-orang ini memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Tetapi bagaimana dengan pasien yang inkompeten dan mereka menolak medikasi?
Apabila rumah sakit diberi wewenang oleh pengadilan untuk melakukan medikasi paksa, pengadilan menetapkan kriteria sebagai berikut:
- Kepentingan pemerintah harus didahulukan daripada kepentingan individu.
- Tidak ada cara lain yang lebih lunak untuk mencapai kepentingan tersebut.
- Medikasi itu harus tepat secara medis (misalnya dapat memulihkan kompetensi terdakwa, keuntungannya lebih besar daripada resikonya, dan demi kepentingan medis terdakwa).
5. Memprediksi Keberbahayaan
Apakah seorang pasien mental akan berbahaya bagi keselamatan orang lain? Prediksi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan secara akurat.
Evaluasi seorang psikolog untuk tujuan ini merupakan dasar pertimbangan terpenting bagi pengadilan. Evaluasi tersebut dapat berkisar dari prediksi tentang perilaku kekerasan sexual, pelecehan anak, kekerasan di tempat kerja, hingga prediksi tentang perilaku pembunuhan atau bunuh diri. Evaluasi ini digunakan untuk banyak keputusan, antara lain keputusan untuk memberikan status bebas dari kerja bagi terdakwa yang ditahan di rumah sakit, untuk menentukan opsi vonis yang harus dijatuhkan kepada pelaku kekerasan.
Penelitian menunjukkan bahwa jenis prediksi tentang perilaku kekerasan berikut ini adalah yang paling akurat:
- Prediksi untuk jangka pendek
- Prediksi untuk setting atau keadaan yang sama dengan data historis yang sudah dimiliki klinikus
- Prediksi atas dasar pengetahuan klinikus tentang perilaku kekerasan yang pernah dilakukan oleh terdakwa
- Prediksi untuk individu yang berasal dari kelompok dengan catatan perilaku kekerasan yang relatif tinggi.
6. Treatment Psikologis
Terdapat implikasi yang luas tentang forensic treatment bagi mereka yang menghadapi kasus-kasus hukum. Dalam kasus kriminal, terapi mungkin difokuskan untuk memulihkan keadaan inkompetensi mental menjadi kompetensi untuk menjalani proses pengadilan, atau terapi mungkin dilakukan untuk memberikan dukungan emosional untuk orang yang menghadapi kurungan. untuk pelaku kejahatan, sering kali fokusnya adalah pada masalah kepribadian, perilaku sexual, dan keagresifan.
Kadang-kadang terapi dilaksanakan ketika orang itu ada dalam tahanan, tetapi kadang-kadang juga dilakukan di luar tahanan sebagai pasien rawat jalan bagi mereka yang dibebaskan dengan jaminan atau dibebaskan untuk masa percobaan. Bentuk terapi yang digunakan dapat berupa terapi individual ataupun kelompok yang menggunakan berbagai teknik dan pendekatan termasuk teknik behavioral dan pendekatan kognitif. Salah satu masalah utama bagi klinikus forensik adalah pengetahuan yang diperlukan dalam kesaksian dalam pengadilan.
Apa yang diinginkan oleh pengadilan, apa yang akan diizinkan oleh pengacara klien, apa yang terbaik untuk klien, dan apa yang terbaik menurut pandangan klinikus mungkin akan konflik dan mengakibatkan banyak masalah. Dalam persoalan hak asuh atas anak, masalah treatment dan konflik di antara orang tua dan anak dapat sangat sulit. misalnya, untuk kepentingan anak, orang tua sebaiknya menjalani terapi, tetapi kadang-kadang salah seorang atau bahkan keduanya menolaknya.
7. Konsultasi
Aktivitas lain yang umum dilakukan oleh seorang psikolog forensik adalah konsultasi, yang mencakup bidang-bidang berikut ini.
Seleksi Juri. Seorang psikolog forensik dapat bekerja dengan pengacara dalam proses penyeleksian juri. Dalam fase ini, pengacara mempunyai kesempatan untuk menemukan bias pada diri calon anggota juri; memperoleh informasi untuk mengajukan tantangan-tantangan yang tak dapat dibantah (sejumlah tertentu tantangan yang diizinkan bagi masing-masing pihak dalam sidang pengadilan untuk menggugurkan pemikiran anggota juri karena dianggap bias terhadap satu pihak tertentu); untuk mengambil hati anggota juri atau membuat mereka memihak; atau untuk mengindoktrinasi anggota juri agar mereka bersikap reseptif terhadap presentasi pengacara. Ini semua dirancang untuk memberikan kekuatan kepada pengacara.
Jury Shadowing. Di sini, konsultan menyewa anggota juri analog (yaitu individu yang serupa dengan mereka yang benar-benar berfungsi sebagai anggota juri) sebagai juri bayangan. Konsultan memonitor reaksi juri bayangan ini terhadap kesaksian yang disajikan dalam sidang pengadilan. Dengan cara ini, konsultan dan pengacara dapat mengantisipasi reaksi dan kesan juri yang sesungguhnya dan mempersiapkan strategi dalam menghadapi pengadilan secara lebih baik.
Survey Opini Publik. Dalam kasus tuntutan tentang merek dagang, misalnya, seorang pengacara dapat menyewa konsultan psikologi untuk menentukan pengakuan publik terhadap nama atau simbol perusahaan tertentu melalui survey. Dalam kasus lain, sebuah survey opini mungkin dilaksanakan terhadap perwakilan sampel orang dari daerah geografis yang sama di mana pengadilan akan dilaksanakan, dengan menanyakan opini mereka mengenai kasus yang bersangkutan dan mengenai taktik sidang pengadilan yang telah direncanakan oleh pengacara. Survey ini memungkinkan pengacara mengaadakan pretest tentang signifikansi suatu isu yang akan diangkatnya dalam sidang pengadilan dan memperkenalkan metode yang akan digunakannya dalam mengajukan bukti. Survey juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perubahan lokasi sidang pengadilan pantas untuk diusulkan. Sikap masyarakat tentang sidang pengadilan, dan khususnya terhadap terdakwa, dapat dibangkitkan untuk membantu meyakinkan pengadilan agar mengubah lokasi sidang dan juga untuk membantu dalam proses seleksi juri.
Mempersiapkan Saksi. Tidak etis bagi seorang konsultan untuk mempengaruhi saksi agar mengubah fakta-fakta dalam kesaksian. Yang dapat dilakukannya adalah membantu saksi menyajikan kesaksiannya secara lebih baik tanpa mengubah fakta yang merupakan arah kesaksiannya itu. Karena ini merupakan hal yang sangat sensitif, konsultan tertentu tidak akan bersedia bekerja untuk kasus kriminal, hanya untuk kasus perdata. Aspek-aspek yang ditanganinya dalam mempersiapkan saksi ini mencakup gaya menyajikan fakta, emosi saksi, upaya mempersiapkan pengalaman menjadi seorang saksi di dalam ruang pengadilan, menghadapi pemeriksaan silang, mempersiapkan penampilannya, dan cara menghadapi ancaman dari jaksa terhadap kredibilitas saksi. Akan tetapi, terdapat batas yang sangat tipis antara memberikan bantuan untuk mempersiapkan saksi dan mendorongnya mengubah kesaksiannya.
Meyakinkan Juri. Konsultan sering dapat membantu pengacara dalam merancang caranya mempresentasikan kasus dan bukti. Konsultan dapat membantu pengacara dalam memprediksi respon juri terhadap jenis bukti tertentu atau metode penyajiannya, terutama dalam argumen pembuka dan penutup. Di sini yang menjadi target adalah keyakinan, perasaan, dan perilaku para anggota juri. Kemudian konsultan merumuskan cara terbaik bagi pengacara dalam mempresentasikan kasus.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 1995. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Baron, R.A., Byrne, D. 1991. Social Psychology – Understanding Human Interaction. Singapore : Allyn & Bacon.
Bartol, C.R.; Bartol, A.M. 1994. Psychology and Law. Pasicif Grove, California : Brooks/Cole Publishing Company
Brigham, J.C. 1991. Social Psychology . New York : Harper & Collins.
Costanzo, M. 2004. Psychology Applied to Law. Singapore : Thomson Wadsworth.
Costanzo, M. 2004. Psychology Applied to Law. Singapore : Thomson Wadsworth.
Departemen Kehakiman Republik Indonesia. 1982. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Jakarta : Yayasan Pengayoman.
Fisher, R.P., Amador, M., & Geiselman, R.E. 1989. Field Test of The Cognitive Interview : Enhancing the Recollection of Actual Victims & Witnesses of Crime. Journal of Applied Psychology, 74 (5), 722 – 727. Kapardis, A. 1997. Psychology and Law. Cambridge : Cambridge University Press.
Mantwill, M., Kohnken, G., Aschermann, E. 1995. Effect of Cognitive Interview on The Recall of Familiar and Unfamiliar Events. Journal of Applied Psychology , Vol. 80 (1), 68 – 78.
Milne, R. & Bull, R. 2000. Investigative Interviewing. Psychology and Practice. Singapore : John Wiley & Sons. LTD
Moeljatno. 1982. Azas-azas Hukum Pidana. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
robowati, Y. 2005. Dibalik Putusan Hakim. Kajian Psikologis Hukum dalam Perkara Pidana. Surabaya : Srikandi.
Putwain & Sammons, 2002. Psychology and Crime. New York : Routledge Sanders, G.S., & Simmons, W.L. 1983. Use of Hypnosis to Enhance Eyewitness Testimony : Does it Work ? Journal of Applied Psychology, vol. 68 (1), 70-77.
Solso, R.L. 1991. Cognitive Psychology. Singapore : Allyn and Bacon.
Wrightsman, L.S. 2001. Forensic Psychology. Singapore : Wadworth Thomson Learning.
Wrightsman, L.S. 2001. Forensic Psychology. Singapore : Wadworth Thomson Learning.
Zubaidah, J., Probowati, Y., Sutrisno. 2007. Effect of Sex Defendant on Judge Decision Making. Presented on Psychology and Law Conference, Adelaide, Australia. DR. Yusti Probowati R.